Dahulu kala ada seorang musafir yang kedatangannya belum dapat diketahui bersama dan juga keturunan siapa (!) berkunjung atau singgah di tepi sungai perbatasan antara kabupaten Demak dan kabupaten Kudus tepatnya disebelah selatan persis kabupaten Kudus. Konon katanya sungai tersebut adalah sungai buatan “Wali”! disebelah sungai itulah beliau singgah di sebuah alas di bawah tanggul, akhirnya di alas tersebut beliau membabat alas dan berinisiatif untuk membuat sebuah komunitas atau perkampungan. Lama kemudian setelah usaha kerasnya membabat alas hampir selesai, karena kecapean akhirnya beliau istirahat dan tertidur di bawah sebuah pohon yang konon akhirnya terkenal dengan nama pohon “Tanjung”. Setelah bangun dari tidur, beliau (yang sekarang di desa Ketanjung terkanal dengan nama Mbah Tawang) terkejut dengan kehadiran dua orang yang berada didekatnya dan akhirnya saling berkenalan.
Lanjut .........
Menurut sumber yang ada yang satunya bernama Zaenal Abidin dari Wedung Demak dan satunya lagi tidak diketahui namanya akan tetapi menurut keterangan yang ada beliau adalah keturunan Sunan Kalijaga. Ketiga orang inilah akhirnya bahu membahu satu sama lain saling membantu untuk menyelesaikan apa yang menjadi harapan dari Mbah Tawang tersebut. Akhirnya usai mereka bertiga bekerja keras selesailah tugas yang dilakukannya untuk membabat alas tersebut, tapi setelah itu ketiganya mengalami kebingungan karena memikirkan apa nama yang pantas dan cocok untuk memberi nama hasil babat alasnya tadi. Beberapa hari kemudian salah seorang dari ketiganya mendapatkan sebuah ilham atau isyarat untuk menamai hasil babat alasnya tersebut seusai berdo’a kepada Allah Swt. Isyarat tersebut menyebutkan dan mengkonotasikan hasil babat alasnya dengan pohon tanjung yang banyak tumbuh mengitari tanggul dan sungai.
Usai hasil isyarat ini dibicarakan bersama, akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menamai hasil babat alasnya ini dengan “Tanjung”, yang artinya tanah, ujung/pegunungan yang menganjur ke laut, semenanjung, jazirah, pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan harum baunya biasa dipakai untuk hiasan sanggul yang tumbuh dirawa-rawa (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Drs. Tri Rama K., Karya Agung, Surabaya, h. 507, t.th). yang kemudia mendapatkan awalan ke menjadi “Ketanjung”. Dan karena banyak sungai atau kali yang mengitari pohon tanjung ini ada yang menyebut dengan “Tanjung Kali” dari kata Tanjung yang diambil dari sebuah nama pohon tersebut dan Kali (Jawa) diambil dari sungai yang mengitari desa tersebut.
Usai ketiga orang tersebut bersepakat memberi nama “Tanjung”, kemudian mereka berencana dan memikirkan bagaimana caranya agar Tanjung (baca : Desa) ini banyak dikerumuni orang dan benar-benar menjadi kemunitas desa yang makin lama makin banyak penghuninya. Konon menurut cerita, waktu itu dari ketiga orang tersebut yang akhirnya bisa menetap hidup di desa Ketanjung adalah dua orang, yaitu mbah Tawang dan Mbah Zaenal Abidin. Hal ini dibuktikan dengan hanya adanya dua makam dari ketiga orang tersebut, dan yang seorang yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga tidak diketahui eksistensinya karena tidak diketemukan makamnya.
Pada waktu awal permulaan terbentuknya desa Ketanjung yang bertindak sebagai juru dakwah atau penyebar agama Islam adalah Mbah Zaenal Abidin dibantu oleh keturunan Sunan Kalijaga tersebut. Sehingga sampai sekarang seolah-olah yang dikenal dan sering diperingati Haulnya tiap bulan Muharram atau Syuro adalah Mbah Zaenal Abidin yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Mbah Surgi Zaenal Abidin Tanjung yang makamnya terletak ditengah-tengah dari tata laksana pemerintahan desa tepatnya di RT 04 RW II, sedang makam Mbah Tawang berada disebelah Utara desa.
Berdasarkan data-data yang ada Mbah Surgi Zaenal Abidin adalah masih keturunan dari Sunan Ampel (Raden Rahmatullah) Surabaya yang merupakan anggota dari Wali Songo (Penyebar Agama Islam Tanah Jawa) dan beliau Mbah Surgi Zaenal Abidin merupakan keturunan ke-24 dari Rasulullah Saw. Sehingga yang lebih terkenal dengan Danyang (penunggu) desa seolah-olah adalah Mbah Surgi Zaenal Abidin yang makamnya dipugar laiknya makam-makam Wali Songo yang akhirnya makam tersebut lebih dikenal dengan “Punden Deso”.
Dalam cerita orang tedahulu, bahwa bangunan rumah warga (terutama RW I dan RW II) yang sekarang ditempati merupakan sebuah tanggul dari sungai buatan “Wali” tersebut, yang semula rumah warga berada dibawah tanggul berdekatan dengan tegalan (yang sekarang lebih dikenal dengan sawah “Ndadah dan Mbalong”). Karena eksistensi rumah waktu itu kurang kondusif disebabkan jikalau musim penghujan tiba air yang berasal dari tegalan tersebut mengalir ke halaman dan kedalam rumah mengenai dan membanjiri rumah warga. Akhirnya warga berkehendak mengusulkan aspirasinya ke pemerintah desa kala itu untuk memikirkan keadaan rumah para warga tatkala dimusim penghujan tiba, akhirnya berdasarkan keputusan musyawarah bersama kemudian disepakati bahwa tanggul yang ada diratakan kebawah sekiranya rumah warga jikalau musim penghujan tiba tidak terkena air bah atau banjir. Dari perataan tanggul tersebut, akhirnya banyak warga yang memilih memindah rumahnya ke tempat yang dulunya tanggul tersebut.
Desa ketanjung konon menurut cerita, awal permulaanya diperkirakan sebelum penjajah Belanda menjajah bumi Indonesia, sekitar tahun 1590 M (akhir abad 16). Jadi menurut perkiraan juga usia desa Ketanjung hingga sekarang ± berusia 419 tahun. Wallahu A’lam bis-Showab…
(Sumber : www.p2mk.co.cc)
Lanjut .........
Menurut sumber yang ada yang satunya bernama Zaenal Abidin dari Wedung Demak dan satunya lagi tidak diketahui namanya akan tetapi menurut keterangan yang ada beliau adalah keturunan Sunan Kalijaga. Ketiga orang inilah akhirnya bahu membahu satu sama lain saling membantu untuk menyelesaikan apa yang menjadi harapan dari Mbah Tawang tersebut. Akhirnya usai mereka bertiga bekerja keras selesailah tugas yang dilakukannya untuk membabat alas tersebut, tapi setelah itu ketiganya mengalami kebingungan karena memikirkan apa nama yang pantas dan cocok untuk memberi nama hasil babat alasnya tadi. Beberapa hari kemudian salah seorang dari ketiganya mendapatkan sebuah ilham atau isyarat untuk menamai hasil babat alasnya tersebut seusai berdo’a kepada Allah Swt. Isyarat tersebut menyebutkan dan mengkonotasikan hasil babat alasnya dengan pohon tanjung yang banyak tumbuh mengitari tanggul dan sungai.
Usai hasil isyarat ini dibicarakan bersama, akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menamai hasil babat alasnya ini dengan “Tanjung”, yang artinya tanah, ujung/pegunungan yang menganjur ke laut, semenanjung, jazirah, pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan harum baunya biasa dipakai untuk hiasan sanggul yang tumbuh dirawa-rawa (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Drs. Tri Rama K., Karya Agung, Surabaya, h. 507, t.th). yang kemudia mendapatkan awalan ke menjadi “Ketanjung”. Dan karena banyak sungai atau kali yang mengitari pohon tanjung ini ada yang menyebut dengan “Tanjung Kali” dari kata Tanjung yang diambil dari sebuah nama pohon tersebut dan Kali (Jawa) diambil dari sungai yang mengitari desa tersebut.
Usai ketiga orang tersebut bersepakat memberi nama “Tanjung”, kemudian mereka berencana dan memikirkan bagaimana caranya agar Tanjung (baca : Desa) ini banyak dikerumuni orang dan benar-benar menjadi kemunitas desa yang makin lama makin banyak penghuninya. Konon menurut cerita, waktu itu dari ketiga orang tersebut yang akhirnya bisa menetap hidup di desa Ketanjung adalah dua orang, yaitu mbah Tawang dan Mbah Zaenal Abidin. Hal ini dibuktikan dengan hanya adanya dua makam dari ketiga orang tersebut, dan yang seorang yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga tidak diketahui eksistensinya karena tidak diketemukan makamnya.
Pada waktu awal permulaan terbentuknya desa Ketanjung yang bertindak sebagai juru dakwah atau penyebar agama Islam adalah Mbah Zaenal Abidin dibantu oleh keturunan Sunan Kalijaga tersebut. Sehingga sampai sekarang seolah-olah yang dikenal dan sering diperingati Haulnya tiap bulan Muharram atau Syuro adalah Mbah Zaenal Abidin yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Mbah Surgi Zaenal Abidin Tanjung yang makamnya terletak ditengah-tengah dari tata laksana pemerintahan desa tepatnya di RT 04 RW II, sedang makam Mbah Tawang berada disebelah Utara desa.
Berdasarkan data-data yang ada Mbah Surgi Zaenal Abidin adalah masih keturunan dari Sunan Ampel (Raden Rahmatullah) Surabaya yang merupakan anggota dari Wali Songo (Penyebar Agama Islam Tanah Jawa) dan beliau Mbah Surgi Zaenal Abidin merupakan keturunan ke-24 dari Rasulullah Saw. Sehingga yang lebih terkenal dengan Danyang (penunggu) desa seolah-olah adalah Mbah Surgi Zaenal Abidin yang makamnya dipugar laiknya makam-makam Wali Songo yang akhirnya makam tersebut lebih dikenal dengan “Punden Deso”.
Dalam cerita orang tedahulu, bahwa bangunan rumah warga (terutama RW I dan RW II) yang sekarang ditempati merupakan sebuah tanggul dari sungai buatan “Wali” tersebut, yang semula rumah warga berada dibawah tanggul berdekatan dengan tegalan (yang sekarang lebih dikenal dengan sawah “Ndadah dan Mbalong”). Karena eksistensi rumah waktu itu kurang kondusif disebabkan jikalau musim penghujan tiba air yang berasal dari tegalan tersebut mengalir ke halaman dan kedalam rumah mengenai dan membanjiri rumah warga. Akhirnya warga berkehendak mengusulkan aspirasinya ke pemerintah desa kala itu untuk memikirkan keadaan rumah para warga tatkala dimusim penghujan tiba, akhirnya berdasarkan keputusan musyawarah bersama kemudian disepakati bahwa tanggul yang ada diratakan kebawah sekiranya rumah warga jikalau musim penghujan tiba tidak terkena air bah atau banjir. Dari perataan tanggul tersebut, akhirnya banyak warga yang memilih memindah rumahnya ke tempat yang dulunya tanggul tersebut.
Desa ketanjung konon menurut cerita, awal permulaanya diperkirakan sebelum penjajah Belanda menjajah bumi Indonesia, sekitar tahun 1590 M (akhir abad 16). Jadi menurut perkiraan juga usia desa Ketanjung hingga sekarang ± berusia 419 tahun. Wallahu A’lam bis-Showab…
(Sumber : www.p2mk.co.cc)
0 komentar:
Posting Komentar